Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla
MANDALIKANEWS.COM | BOGOR — Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla menyebut, konsep masjid ramah lingkungan harus mempertimbangkan kondisi ekosistem dan habitat sosial di sekitarnya. Menurutnya, konsep ramah lingkungan bukan hanya sebatas penghematan energi atau penanaman pohon, tetapi juga harus sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Hal tersebut disampaikannya dalam kegiatan Focus Group Discussion Pembinaan Dakwah Ekologis Masjid yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Bogor, Sabtu (14/6/2025).
“Kalau daerah sekitarnya kumuh, lalu dibangun masjid yang terlalu megah, itu tidak seimbang. Kita harus memahami bagaimana kondisi sosial di sekitar masjid agar pembangunannya tidak jomplang,” ujar sosok yang akrab disapa Gus Ulil.
Selain pembangunan fisik, aktivitas di masjid juga diharapkan mendukung kesejahteraan sosial. Dakwah di masjid, kata Gus Ulil, dapat mengangkat isu kebersihan lingkungan, pengelolaan sampah, hingga penanganan kemiskinan warga sekitar. Dengan demikian, masjid tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga memberi dampak nyata bagi ekosistem sosial.
Gus Ulil juga mengungkapkan perlunya penerapan pendekatan fikih lingkungan agar kepedulian terhadap lingkungan tidak berkembang menjadi ideologi ekstrem yang justru merugikan masyarakat. Masjid, menurutnya, dapat menjadi pusat edukasi warga dalam menerapkan pola hidup ramah lingkungan yang bijak dan seimbang, sesuai ajaran Islam.
Ia mencontohkan beberapa negara maju di Eropa yang dinilai terlalu cepat beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, sehingga menyebabkan kenaikan tarif listrik. “Ini contoh nyata bahwa kepedulian terhadap lingkungan juga dapat menimbulkan dampak negatif jika diterapkan tanpa pertimbangan fikih,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gus Ulil membagi isu lingkungan ke dalam dua kelompok, yaitu small habitat _(al-biah al-shughra)_ atau mikroekologi, dan _big habitat (al-biah al-kubra)_ atau makroekologi. Small habitat meliputi persoalan lingkungan di tingkat lokal dan nasional, seperti kerusakan lingkungan, marginalisasi masyarakat adat, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi, dan sampah. Sementara itu, big habitat mencakup isu global seperti perubahan iklim, pemanasan global, hingga kematian akibat perubahan iklim.***