Lembaga Masyarakat Budaya Minangkabau: "Payung yang Tak Boleh Bocor " Oleh: Rizal Tanjung

 




Di Taman Budaya Sumatera Barat, pada senja yang sepi tapi penuh gema sejarah,

terdengar desir angin dari lembar-lembar tambo tua yang kembali dibuka.

Langit menguning seperti lembaran naskah usang,

dan dalam sorot cahaya yang hampir padam,

sebuah musyawarah tak sekadar memutuskan nama,

melainkan membunyikan genderang sunyi:

Minangkabau belum selesai.


Di bilik itu, bukan hanya tubuh-tubuh yang berkumpul,

tetapi arwah para ninik-mamak,

gema pantun dari masa lalu,

dan tangis anak cucu masa depan

yang belum lahir namun telah merasa cemas.



Sastrawan itu bernama Pinto Janir,

lelaki yang menulis puisi seperti menanam padi di ladang kata.

Kini ia bukan sekadar penyair,

melainkan pemegang kendali perahu budaya sebagai ketua umum di tengah samudra zaman yang mulai asin dengan amnesia.


"Lembaga Masyarakat Budaya Minangkabau,"

ujarnya lirih tapi bergaung di rongga sejarah.

"Adalah payung bagi hujan deras teknologi yang jatuh tanpa jeda,

adalah pelindung dari badai yang bisa melunturkan ukiran di dinding rumah gadang."


Ia tahu, bahwa di dunia hari ini,

kita bisa mengetuk layar lebih sering dari mengetuk hati.

Kita bisa hafal algoritma lebih dari mamang adat.

Dan bila tidak diselamatkan sekarang,

maka adat hanyalah perhiasan di rak museum digital

yang dikunjungi hanya oleh keingintahuan tanpa penghayatan.



Lalu berdirilah yang lain,

seperti daun-daun tua yang menolak gugur sebelum musim tiba.


Dr. Febby Dt. Bangso,

sebagai ketua dewan pembina,

menatap jauh ke masa depan dengan sorot mata yang membaca angin.

Sementara Syarifuddin Arifin,

penyair dari tanah yang masih menyimpan rindu

pada bait-bait puisi

berujar dalam nada getir:


> "Terkadang kita terlalu sibuk bertengkar tentang siapa yang berhak membawa obor,

hingga lupa bahwa nyala obornya nyaris padam.

Waktu habis bukan untuk membangun rumah,

tapi untuk saling meruntuhkan pondasi.

Tukang keruh kebudayaan, pengacau dengan dalih perjuangan,

berladang di punggung seniman—

menyingkirlah.

Saatnya negeri dibangun dengan tangan bersih dan dada lapang."



Dan berdirilah Hasnul,

seorang penjaga matahari di pagi-pagi gelisah.

Katanya:


> “Saatnya para pegiat budaya dan seni

bangkit seperti embun yang tak gentar kepada fajar.

Bangkit menjaga nilai-nilai,

seperti ibu-ibu tua yang menyulam kain tenun

untuk cucu-cucu yang belum mereka lihat,

namun sudah mereka cintai.”



Ia tahu, bahwa adat adalah luka yang dijahit sabar,

bukan pekik nostalgia yang semu.

Dan menjaga budaya bukan tentang mempertahankan masa lalu,

melainkan memberi akar pada masa depan yang sedang tumbuh tak tentu arah.



Rizal Tanjung, satu dari empat wakil ketua,

budayawan dengan suara yang kerap terdengar

seperti lantunan dari cerobong rumah tua,

berkata seperti seorang filsuf yang kehilangan kampung:


> "LMB Minangkabau adalah jawaban ketika kita dipaksa memilih

di simpang empat peradaban.

Jangan sampai kita kehilangan arah,

lalu menjadikan tanah sendiri sebagai tempat asing.

Kita bukan penjaga museum,

tapi penanam benih-benih baru

dengan akar lama yang masih kokoh."



Dan Jefinil, sang pelukis,

yang menggambar peradaban dalam warna-warna yang nyaris sirna,

berujar lirih:


> "Minangkabau adalah nagari berpayung pikiran.

Dan payung kita tidak boleh bocor.

LMB adalah pagar dari duri-duri yang merayap diam-diam

mencabik kulit adat."



Nama-nama pun ditetapkan—

Aprimas, Yarsina Devi, Dadang Leona, Hasanawi—

mereka bukan sekadar pengurus.

Mereka adalah lilin-lilin kecil

di altar malam kebudayaan kita yang nyaris gelap.


Tugas mereka bukan ringan:

menjaga api dari tiupan angin zaman,

menanam akar di tanah yang mulai retak,

dan menyanyikan kembali dendang anak nagari

dalam tempo yang tak seragam,

namun masih bisa dirasa sebagai rumah.



Karena negeri ini,

lebih dari sekadar tanah dan batas wilayah,

ia adalah puisi panjang yang ditulis dari keringat petani,

air mata bundo kandung,

dan diam-diam lelaki yang menyulam makna

di balik kata-kata yang nyaris punah.


LMB Minangkabau bukan hanya lembaga,

ia adalah getar di urat nadi sejarah,

ia adalah jawab atas gugatan zaman,

bahwa adat tak hanya untuk dipidatokan,

tapi untuk dijalani—seperti doa yang diam-diam

menyelamatkan jiwa.


Di bawah langit yang tak lagi sama,

di tanah yang mulai asing pada dirinya sendiri,

mereka berkumpul bukan hanya untuk membagi jabatan,

tetapi untuk menjahit kembali kain yang nyaris koyak.

Dan barangkali, esok anak cucu akan bertanya:

Siapa yang menyelamatkan Minangkabau dari kebocoran payung zaman?


Dan jawabnya,

akan tertera dalam puisi sejarah:

Para penjaga adat,

yang berani berkata,

di tengah badai:

“Payung kita tidak boleh bocor.”


Padang,2025.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال