Pada altar lengang di langit sastra Indonesia,terbentang selembar petisi sunyi—ia bernama Hari Puisi Indonesia (HPI) dan seharusnya menjadi tanah suci bagi setiap insan yang melahirkan puisi dari luka terdalamnya.
Namun, tahun ini, satu bayang besar absen dari cahaya yang dirayakan:ia adalah Denny JA—penyair yang menanam bibit puisi esai di padang perdebatan,yang membiakkan kata menjadi ladang genre baru dan justru tak diajak bercengkerama di meja perjamuan para penyair.
Apakah HPI takut pada genre yang tumbuh liar?
Apakah lembaga sastra ini lebih memilih taman buatan daripada hutan liar puisi yang menolak dikurung?
Apakah seorang Denny JA—penggagas genre puisi yang dibaca ribuan dan ditulis ulang oleh ratusan—tak pantas disebut penyair hanya karena puisinya tak berdoa dengan rima lama?
Puisi Adalah Hutan yang
Tak Perlu Izin Membakar
Ketika puisi dibatasi hanya pada bentuk,
kita telah membakar semak belukar imajinasi dan menjadikannya taman konservasi yang steril dari gairah liar.
Puisi bukanlah dogma,ia adalah letupan jiwa—ia menyusup dari celah nadi sejarah dan bisa muncul dalam bentuk apa pun: soneta atau esai, mantra atau gumaman.
Denny JA, dengan puisi esainya, telah menorehkan gurat baru pada tubuh puisi Indonesia.
Entah kau suka atau tidak pada nadanya,ia tetap seorang penyair—sebab ia mencipta,bukan sekadar membaca atau menghafal milik orang.
Ia menggali sumur makna dari batinnya sendiri dan itu saja sudah cukup sebagai syarat sah menjadi penyair.
HPI: Altar yang
Terluka Karena Tak Adil
Mengapa HPI, yang semestinya menjadi rumah gadang bagi semua makhluk bernama puisi,malah menjadi ruang elit yang menolak anak kandungnya sendiri?
Bukankah HPI adalah milik semua pencipta puisi,bukan hanya milik mereka yang bersuara dengan nada tunggal?
Janganlah HPI menjadi festival yang hanya mengundang para pembaca puisidan menyingkirkan penciptanya karena perbedaan selera.
Janganlah puisi hanya diterima jika ia berdoa dalam bentuk lama dan ditolak jika ia memilih berdzikir dengan bentuk baru.
Bukankah keadilan adalah nafas sastra yang paling suci?
Jika HPI tidak menghadirkan Denny JA hanya karena puisi esainya dianggap ‘bukan puisi’,maka kita telah melakukan pembunuhan diam-diam terhadap pluralitas dalam kesusastraan.
Kita telah membangun rumah ibadah puisidengan pagar diskriminasi.
Kementerian Kebudayaan
Dengarlah Jerit Kata
yang Ditinggalkan
Wahai Kementerian yang mengurus kebudayaan negeri,jangan biarkan lembaga sastra memelihara fanatisme genre.
Puisi adalah milik rakyat—dari pantai hingga gunung,dari penyair lokal hingga penyair kontroversial.
Jika seseorang mencipta, menulis, dan menyebar kata demi kata hingga membentuk kesadaran baru,maka ia adalah penyair—apapun bentuk puisinya.
Puisi esai bukanlah hantu.
Ia adalah burung yang terbang ke arah lain dan kita seharusnya menyambutnya bukan dengan peluru penolakan,tetapi dengan tangan terbuka,sebab sastra yang sehat adalah sastra yang menghormati kebaruan.
Marwah HPI Adalah
Rumah Cipta
Bukan Museum Rima
Jika HPI ingin menjadi marwah sejati puisi Indonesia,maka ia harus melepaskan jubah feodalisme bentuk dan menyambut semua penyair dengan peluk setara.
Termasuk Denny JA yang kini lebih banyak dibicarakan dari pada diundang,lebih sering dikutip daripada diajak duduk di meja yang sama.
Jika HPI mengaku sebagai tanah air para pencipta puisi,mengapa ia mengasingkan salah satu anaknya yang telah melahirkan ribuan puisi baru melalui genre yang menggugat cara kita membaca kenyataan?
Puisi yang Diasingkan Akan Menjadi Doa yang Mengutuk Langit
Jangan mainkan puisi seperti kasta.
Karena kata yang lahir dari sunyi bukan untuk disortir dengan selera pribadi.
Setiap ciptaan adalah nyala dan puisi esai telah menyala dengan cahayanya sendiri—meskipun kadang silau bagi mereka yang terlalu nyaman dengan tradisi.
Maka kepada para penyelenggara HPI:
Biarkan taman puisi ini dipenuhi oleh bunga yang beragam bentuk dan warna.
Jangan ubah marwah menjadi pagar.
Jangan ubah altar penciptaan menjadi panggung saringan genre.
Sebab puisi bukanlah agama yang hanya menerima satu kitab.
Saat HPI Tak Mengundang Sang Penggagas
Hari Puisi Indonesia bukan hanya hari mengenang puisi,tetapi hari menyatukan para penciptanya—tanpa kecuali.
Dan jika Denny JA tak diundang karena puisinya dianggap ‘tak murni’,maka kita semua harus bertanya:
Apakah HPI masih rumah bagi semua penyair?
Ataukah ia telah menjadi menara gading yang hanya membuka pintu bagi mereka yang setuju dan menutupnya bagi mereka yang mencipta berbeda?
Mari kita renungkan:
Ketika puisi menciptakan dunia baru,
mengapa kita malah sibuk menyekat dunia yang ada?
Puisi harus tumbuh, bukan disunat.
Dan HPI, jika ingin menjadi tanah air sejati puisi,harus menerima seluruh anak kata—baik yang bernyanyi dengan rima,maupun yang bersuara lewat esai.
Sumatera Barat, 2025.
* Rizal Tanjung, Penyair dan budayawan asal Sumatera Barat.