MANDALIKANEWS.COM | JAKARTA - Ketegangan yang terjadi antara India dan Pakistan baru-baru ini menyuguhkan sebuah dinamika baru dalam konstelasi geopolitik global. Konflik bersenjata tersebut tidak hanya memperlihatkan rivalitas antarnegara, tetapi juga menjadi indikator perubahan dalam kekuatan militer global, khususnya dalam aspek penguasaan teknologi persenjataan.
Dalam konteks ini, Ketua Grup Kerja Sama Bilateral DPR RI-Parlemen Palestina, Syahrul Aidi Maazat, menyoroti pentingnya bagi Indonesia untuk mengevaluasi kembali arah kebijakan luar negerinya agar lebih adaptif terhadap lanskap geopolitik yang terus berubah.
Syahrul mengungkapkan bahwa keberhasilan Pakistan dalam menghadapi India tidak lepas dari dukungan teknologi militer dari Tiongkok. Sementara di sisi lain, India yang mengandalkan perlengkapan tempur dari Amerika Serikat dan Rusia justru mengalami kekalahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa superioritas militer tidak hanya bergantung pada sekutu besar, tetapi juga pada kesesuaian strategi dan kecanggihan teknologi yang dimiliki.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan berbagai alternatif sumber pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), termasuk menjalin kerja sama dengan Tiongkok sebagai mitra strategis.
Dalam pemaparannya, Syahrul menekankan bahwa posisi Indonesia yang selama ini mengedepankan prinsip politik luar negeri bebas aktif tidak boleh menjadikannya kehilangan arah dalam menentukan sikap internasional.
Menurutnya, netralitas yang tidak disertai strategi cerdas justru dapat merugikan posisi Indonesia dalam tatanan global. Ia menyarankan agar Indonesia meniru pendekatan negara-negara seperti Arab Saudi yang mampu menjaga hubungan erat baik dengan Amerika Serikat maupun dengan Tiongkok, sehingga meningkatkan posisi tawar mereka dalam percaturan geopolitik.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kekuatan nasional tidak hanya bersandar pada militer, melainkan juga pada kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Tiongkok, misalnya, bukan hanya kuat dalam teknologi persenjataan, tetapi juga unggul dalam hal produksi dan kemandirian pangan. Hal inilah yang menurut Syahrul menjadi nilai strategis tambahan yang patut dicontoh oleh Indonesia.
Ia mengapresiasi langkah Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto yang telah memulai upaya kemandirian pangan sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Menurut Syahrul, jika Indonesia mampu memproduksi sendiri kebutuhan rakyatnya dan bahkan mengekspornya ke negara lain, maka Indonesia tidak hanya menjadi mandiri tetapi juga menjadi negara yang diperhitungkan. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang tidak mudah ditekan atau bergantung pada kekuatan asing.
Pada akhirnya, Syahrul menegaskan bahwa Indonesia perlu membangun kemandirian dalam tiga sektor utama: pangan, obat-obatan, dan persenjataan. Dengan memproduksi ketiga sektor ini secara mandiri, Indonesia akan memiliki landasan kuat untuk menjadi negara yang berdaulat, berdaya saing, dan memiliki posisi tawar tinggi dalam percaturan global.