Di tanah yang ditenun dari adat dan sekarung hikmah leluhur, di atas permadani waktu yang ditulis dari silek, surau, dan nyanyian pepatah-petitih, hadir seorang anak negeri yang tak membawa baju besi kekuasaan, tapi jubah kesabaran dan pelita akal sehat. Ia bukan datang untuk diangkat, tetapi untuk mengangkat: jiwa-jiwa nagari yang hampir hilang dalam kabut modernitas. Namanya: Vasko Ruseimy — seorang Wakil Gubernur, tapi lebih dari itu, ia adalah aksara yang menari di dalam tubuh Ranah Minang yang mulai letih dan nyaris terkulai.
Ketika Lembaga Masyarakat Budaya (LMB) Minangkabau berkunjung ke rumah dinas yang terletak di Flamboyan Padang pada tanggal 29 Juli 2025, tak hanya tangan yang dijabat, tetapi jiwa yang disambut. Tak hanya raga yang bersua, tetapi hati yang berunding dalam bahasa paling halus dari manusia Minangkabau: bahasa tenggang rasa, bahasa beradat, bahasa yang telah hampir kehilangan lidahnya di riuh zaman.
Dan di sana, berdiri Vasko. Ia tidak menyuruh memujanya. Ia malah meminta sesuatu yang lebih suci: kritik yang jernih dan nasihat yang jujur.
“Beri saya kritikan yang melapangkan jalan pikiran. Mohon, jangan serang saya dengan puja puji.
Pujian bisa menyayat lebih dalam dari sebilah kata pedang.”
Begitu katanya, seperti angin lembah yang membawa daun-daun dari surau tua, berbisik tentang kesederhanaan dan kesadaran.
Namun, bagaimana mungkin seorang penyair sekelas Syarifuddin Arifin, yang telah mengecap warna-warna kata dari langit Sumatera hingga langit Nusantara, tidak terpanggil untuk menyampaikan getar rasa?
> “Saya tak kuasa membungkam hati yang menyaksikan gerakan Pak Vasko dalam merawat adat dan manjago nagari,” katanya.
Dan siapa sanggup menahan ombak ketika ia melihat ombak lain yang turut membersihkan pantai?
Tapi Vasko menjawab dengan senyum yang tak sombong.
“Pada pujian saya gamang. Tapi pada kritik, hati saya lapang.”
“Mari saling menasihati dalam kebenaran, saling mengingatkan dalam kesabaran.”
Begitu kata seorang pemimpin yang tak mau berkuasa atas rakyat, tapi ingin berjalan bersama rakyat, membasuh luka Minangkabau dengan air mata tanggung jawab bersama.
Langit Minangkabau sore itu tampak menyusut, seperti ingin meneteskan gerimis.
Dr. Febby Datuk Bangso, Ketua Dewan Pembina LMB, melempar kalimat seperti petir yang menyambar keheningan.
“Kita tak bisa menutup mata, kebangkrutan moral telah menjalar ke dapur keprihatinan.
Narkoba menyusup ke celah-celah rumah gadang, LGBT merambah halaman surau, dan teknologi digital mengacak-acak tengkorak kepala kita.”
Kalimat yang keras, namun bukan untuk melukai. Ia adalah tangisan langit yang meminta disapu sebelum banjir datang.
Maka muncul suara Vasko lagi, bukan sebagai pejabat, tapi sebagai anak nagari:
“Ini tanggung jawab moral kita semua.
Maminteh sabalun hanyuik, malantai sabalun luluih.”
Sebuah pepatah yang mengandung doa panjang, harapan tak mati, dan warisan yang menolak dilenyapkan.
Barangkali langit telah menulis nama Vasco dalam aksara takdir Minangkabau, sebagai pemelihara suluh yang nyaris padam.
Dan LMB tak tinggal diam. Hasnul menjulurkan tangan, seperti air dari batang sungai menuju hulu mata air:
“Gerakan merawat tradisi oleh Pak Vasko tidak boleh lelah sendiri. Kami bersama. Ini tangan kami...”
Tak hanya tangan yang disambut. Tapi juga semangat yang disulam dalam jabat yang erat, yang menggetarkan ruang batin semua yang hadir.
Tuanku Muhammad Yusuf, pewaris darah Pagaruyung pun bersuara:
“Tak ada kata terlambat. Malantai sabalun luluih, maminteh sabalun hanyuik.”
Ah, betapa indahnya bila keturunan raja dan pemimpin pemerintahan duduk bersama dalam tikar nilai, bukan kursi kekuasaan.
Sejak Vasko dan Mahyeldi dilantik, mereka tak menunggu hujan anggaran turun untuk menanam benih.
Vasko berjalan ke nagari-nagari, membuka rumah dinasnya 24 jam — bukan untuk pesta, tapi untuk menampung suara. Ia bukan hanya mendengar, ia menyimak. Ia bukan hanya menyapa, ia menghidupkan.
Ia ajak semua berpikir:
Apa arti “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, bila tak diterjemahkan dalam gerakan?
Ia bangkitkan silek, ia dorong sanggar, ia rawat surau, ia sulam semangat generasi muda dengan benang emas leluhur.
“Kepribadian orang Minangkabau tidak boleh lekang oleh panas, tidak boleh lapuk oleh hujan.
Adat dan budaya adalah akar. Tanpa itu, kita hanya dedaunan yang tumbuh dari pohon orang lain,” katanya.
Dan dalam suara yang sejuk, ia menambahkan:
“Soal budaya adalah soal hati. Soal cipta dan rasa.
Elok nagari dek panghulu, elok musajik dek tuangku, elok tapian dek nan mudo, elok rumah dek bundo kanduang.”
Kalimat-kalimat Vasko bukan hanya bijak. Ia adalah puisi panjang dari seorang pemimpin yang telah menjadikan adat sebagai nafas, dan masyarakat sebagai denyut.
Rizal Tanjung, seorang budayawan dan Wakil Ketua LMB, menyambut Vasko seperti menyambut saudara lama yang pulang dari perantauan:
“Satu kata. Satu bahasa. Satu pandangan. Bersama kita jaga Minangkabau tacinto.”
Dan Jefenil, perupa yang juga seorang pengacara, mengutip sajak Leon Agusta,
“Bila tak ada kata terucapkan, sedikit senyum kan jadi bulan dan matahari.”
Begitulah suasana pertemuan yang bukan sekadar acara, tapi gema dari hati yang rindu akan keutuhan nagari.
Akhir pertemuan itu ditutup dengan aksara. Bukan sembarang aksara, tapi huruf hidup dari tangan Vasko yang meminjam pena untuk menulis sejarah kecil dalam sejarah besar:
“Bismillah... Semoga LMB Minangkabau dapat menjadi barometer budaya yang ada di Ranah Minang — 29-7-2025 — Vasco Ruseimy”
Tertulis di bawah simbol pucuk rabuang, filsafat yang dalam:
“Ketek paguno, gadang tapakai. Katikok ketek bisa diasuang, katikok gadang menjadi batuang dan mengayomi.”
Sebuah pesan diam: bahwa seperti rebung, Minangkabau akan terus tumbuh — jika kita rawat, kita jaga, dan kita dukung bersama.
Vasco bukan sekadar nama dalam daftar birokrat. Ia adalah semacam aksara yang diselundupkan langit untuk menulis ulang kesadaran.
Dalam zaman ketika adat nyaris jadi artefak, ia bergerak seperti puisi yang menolak mati.
Di bahunya, kita titipkan harapan. Di kata-katanya, kita temukan cermin. Di hatinya, kita lihat Minangkabau yang tak ingin hanyut, tak ingin luluih.
Karena bagi Vasco,
berbudaya adalah bentuk lain dari cinta.
Dan cinta, adalah ketika kau berani mendengar, meski yang disampaikan adalah luka.
Sumatera Barat,2025