Gandeng BNN, Puskadaran DPD Kaji Penguatan Rehabilitasi Medis Terkait Revisi UU Narkotika

 



MANDALIKANEWS.COM | JAKARTA — Pusat Kajian Daerah dan Anggaran (Puskadaran) Sekretariat Jenderal DPD RI menggadeng Badan Narkotika Nasional (BNN) menginventarisasi permasalahan terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya terkait rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPD RI atas pelaksanaan undang-undang agar tetap relevan dengan kondisi sosial dan tantangan penanggulangan narkotika yang semakin kompleks. “Hal ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPD RI atas pelaksanaan undang-undang agar tetap relevan dengan dinamika sosial yang terus berkembang,” kata Kepala Puskadaran DPD RI, Sri Sundari, di Kantor BNN, Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Menurutnya, kerja sama ini bertujuan menginventarisasi berbagai permasalahan yang muncul dalam implementasi UU Narkotika, khususnya terkait keterbatasan kapasitas lembaga rehabilitasi, tenaga profesional, serta anggaran yang mempengaruhi efektivitas layanan pemulihan. “BNN telah memaparkan bahwa dari jutaan pengguna narkoba di Indonesia, hanya sekitar satu hingga satu setengah persen yang dapat direhabilitasi setiap tahunnya.

 Padahal, mereka terus berinovasi dengan program seperti rehabilitasi keliling untuk menjangkau wilayah yang belum memiliki fasilitas tetap. Kinerja mereka layak diapresiasi karena tetap melampaui target meski dengan keterbatasan anggaran,” jelasnya.

Pada sesi awal, BNN memaparkan data terkini mengenai situasi narkotika global maupun nasional. dr. Erniawati Lestari, Sp.FK. (Plt. Direktur PLRKM Deputi Rehabilitasi BNN) menerangkan bahwa bahwa sekitar 6 persen populasi dunia menggunakan narkoba, dengan ganja sebagai jenis yang paling banyak dikonsumsi. Di Indonesia sendiri tahun 2023, dr. Ernawati Lestari, Sp.FK menyampaikan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 1,73% atau 3,3 juta jiwa. 

Meskipun dalam tiga tahun terakhir angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia menunjukkan tren penurunan, ancaman tetap tinggi terutama di kalangan remaja dan pelajar, yang kini menjadi kelompok klien terbesar dalam program rehabilitasi.

Dari sekian banyak prevelansi, ternyata hanya segelintir yang dapat dirrhabilitasi oleh BNN. . Hanya sekitar 1 hingga 1,5 persen pengguna narkoba yang dapat direhabilitasi setiap tahunnya, disebabkan keterbatasan kapasitas lembaga rehabilitasi, tenaga profesional, serta anggaran yang tersedia, jelas dr. Erniawati Lestari, Sp.FK. 

Meskipun begitu, BNN tetap berupaya untuk mengembangkan berbagai inovasi, seperti rehabilitasi keliling, guna menjangkau pengguna di wilayah yang belum memiliki fasilitas tetap. Dengan keadaan anggaran terbatas, kinerja lembaga rehabilitasi BNN kerap melampaui target, menunjukkan komitmen tinggi terhadap pemulihan korban penyalahgunaan narkoba.

Diskusi kemudian mengerucut pada beberapa isu krusial terkait revisi UU Nomor 35 Tahun 2009, yang telah diusulkan hampir satu dekade namun belum mendapatkan titik temu antar lembaga. 

Dewi Ghinawati, S.H. (Ahli Pertama Perancang Peraturan PerundangUndangan BNN) menyoroti adanya sejumlah pasal yang tumpang tindih dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), bahkan tercatat 10 pasal dalam UU Narkotika yang tidak terakomodasi dalam KUHP, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan penegakan terhadap tindak pidana narkotika.

"Ada sejumlah pasal dalam UU Narkotika yang tumpang tindih dengan RUU KUHP, bahkan tercatat sepuluh pasal tidak terakomodasi sama sekali. Ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan penegakan terhadap kejahatan narkotika,” tegas Sri Sundari.

Menurut Sri, terdapat beberapa poin penting hasil FGD yang akan menjadi dasar rekomendasi kebijakan bagi DPD RI:Penegasan batas hukum antara pelaku dan korban. 

“Kami menilai perlu ada batas hukum yang jelas untuk membedakan antara pelaku tindak pidana narkotika dan korban penyalahgunaan yang seharusnya menjalani rehabilitasi. Tidak semua pengguna narkoba harus dipidana, karena penyalahgunaan narkotika merupakan penyakit yang menyerang fungsi otak, sehingga harus ditangani melalui pendekatan pemulihan, bukan semata pidana,” ujarnya.***

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال